Oleh Septiana Hasmita, S.Psi
Harga minyak goreng kian hari kian menanjak. Harga rata-rata minyak goreng curah di tingkat nasional berdasarkan data SP2KP Kementerian Perdagangan pada 11 Maret 2022 sebesar Rp16.037, kemasan sederhana Rp16.401 dan kemasan premium Rp18.403.
Ini lebih tinggi dibandingkan tingkat harga pada akhir Februari. Sementara harga eceran di masyarakat ada yang jauh lebih tinggi dibandingkan harga rata-rata nasional tersebut.
Bukan saja harganya yang mahal, minyak goreng juga sulit ditemukan di pasaran, misalnya saja di Kawasan landasan Ulin, kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, seorang warga mengungkapkan, “Jika pun ada harganya di toko-toko sembako paling murah Rp40 ribu kemasan 2 liter. Bahkan ada yang jual Rp45 ribu hari ini” (economy.okezone.com).
Di tengah kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng, para politisi justru terlihat sibuk menyiapkan diri untuk kontestasi pemilu. Sebut saja dua partai politik yang tengang berusaha merebut hati masyarakat dengan membagikan minyak goreng. Diketahui PDIP telah melakukan pembagian minyak goreng hingga 10 ton. Sementara PSI telah menggelar operasi pasar murah (fajar.co.id).
Politisi dalam Demokrasi
Kabar PDIP yang melakukan pembagian minyak goreng dan PSI yang mengelar pasar murah, tentunya merupakan hal yang memilukan bagi rakyat di tengah kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng saat ini. Wajar jika kemudian rakyat berspekulasi bahwa kedua partai ini juga turut menimbun minyak goreng. Dan menggunakan momen kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng guna menaikkan elektabilitas partai menghadapi pemilu mendatang.
Para politisi ini bisa sangat loyal hanya untuk kepentingan partai. Jelang pemilu, mereka mengunjungi rakyat untuk memenangkan partainya. Ketika suara rakyat telah didapatkan, rakyat tetap dengan kesulitan dan kemiskinannya. Jadi, memanfaatkan kelangkaan minyak goreng, untuk kepentingan partai bukanlah hal yang mustahil dilakukan oleh para politisi dalam demokrasi.
Demokrasi hanya akan melahirkan wakil rakyat dengan yang minim empati pada persoalan rakyat. Sebab landasan kekuasaan dalam demokrasi hanya kepentingan dan manfaat semata.
Kekuasaan dalam demokrasi diperoleh dengan mahal. Tidak sedikit dana yang dikeluarkan para kandidat wakil rakyat saat pemilu, bahkan mereka juga mencari sokongan dana dari para oligarki yang tentunya punya kepentingan jika kelak calonnya terpilih.
Dana yang banyak dikeluarkan saat pemilu, ikatan kepentingan antara wakil rakyat dan oligarki menyebabkan tujuan kepemimpinan berubah dari yang seharusnya mengurus kebutuhan rakyat menjadi pengembalian modal pemilu serta balas budi kepada para pendukungnya.
Beginilah sosok wakil rakyat binaan sistem demokrasi. Sistem yang lahir dari rahim sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Tujuan hidupnya bukan untuk menjadi manusia yang mulia dan diridhai Allah SWT. Tapi bagaimana untuk meraup untung dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Tidak ada lagi standar halal haram ketika bertindak.
Pemimpin dalam Islam
Hal yang berbeda ditemukan pada sosok pemimpin dalam Islam. Jangankan mau memanfaatkan momen kesulitan rakyat untuk meraup elektabilitas partai. Diserahi kekuasaan saja menolak.
Misalnya saja, sosok teladan pemimpin Islam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz ketika mengetahui kabar penunjukannya sebagai Khalifah, Umar bin Abdul Aziz langsung mengucapkan, “Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un.” Setelah dibaiat, dalam berpidatonya di hadapan rakyat, Umar bin Abdul Aziz menyampaikan bahwa Dia tidak menghendaki jabatan khalifah. Diapun tidak pernah diajak musyawarah atas jabatan itu, juga tidak pernah memintanya. Sehingga dia ingin rakyat mencabut baiat mereka dan memilih orang lain.
Namun, rakyat tidak ingin mengganti pilihan mereka dan telah sangat berbahagia atas terpilihnya Umar bin Abdul Aziz sebagai Khalifah. Maka dengan terpaksa Umar bin Abdul Aziz menerima jabatan tersebut dan berpesan, “Taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah. Apabila aku maksiat kepada Allah, maka tidak ada (kewajiban) kalian taat kepadaku.”
Saat memimpin pun Umar bin Abdul Aziz sangat adil hingga tidak ada lagi orang berhak menerima zakat mau menerima zakat, sehingga dana zakat disumbangkan ke negeri lain yang membutuhkan.
Rasulullah saw. pun mendoakan kesusahan bagi para penguasa yang menindas rakyat. “Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia.” Demikian munajat beliau, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim.
Kepemimpinan dalam Islam adalah amanah yang sangat berat hisabnya di hadapan Allah kelak. Maka, wajar bagi sosok calon pemimpin yang memahami hal ini dan juga menjadikan syariah Islam sebagai landasan hidup dan bertindak, akan lebih memilih untuk menolak jika diserahi kekuasaan.
Mencermati fakta ini, masih layakkah sistem demokrasi dipercaya untuk melahirkan sosok pemimpin yang amanah dan peduli pada rakyatnya?