Oleh Widiawati, S.Pd
(Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Muslimah)
Baru-baru ini publik di hebohkan dengan pernyataan Menag Yaqub khalil terkait perlunya pengaturan volume suara adzan agar tidak mengganggu penganut agama lain.
Hal ini bermula saat pernyataan Menag tentang adzan. Kemudian disusul dengan surat edaran Nomor 6 Tahun 2022 Tentang pedoman penggunaan pengeras suara baik di masjid maupun di Mushala. Mengumandangkan adzan menggunakan toa diatur volumenya sesuai kebutuhan dan maksimal 100 desibel (dB) (poin 3b).
Tentu hal ini memicu kegaduhan di tengah masyarakat, mulai dari MUI, Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto. Bahkan beberapa daerah mengadakan aksi, menuntut Menag untuk segera meminta maaf kepada umat Islam, atau segera mengundurkan diri, karena dianggap tidak pantas menduduki posisinya saat ini.
Bagi masyarakat pernyataan Menag dianggap bentuk diskriminasi Terhadap umat Islam, seolah-olah Islam intoleran terhadap penganut agama lain. Dan paling parah ia menyamakan suara adzan dengan gonggongan anjing. Tentu hal ini melukai hati umat Islam.
Komentar pun tidak hanya datang dari kalangan muslim saja, dari kalangan non muslim pun ada yang turut berkomentar melalui akun media sosial, ia mengatakan bahwa mereka tidak merasa terganggu dengan suara adzan yang di kumandangkan menggunakan toa, meski hampir tiap hari seruan tersebut mereka dengarkan. Lalu jika dari kalangan non muslim saja tidak merasa terusik, lantas kenapa baru sekarang di permasalahkan oleh Menag?
Tentu semua ini tidak lepas dari penerapan sistem kapitalis sekuler, memberikan ruang orang jahil berkuasa sehingga ketika membuat aturan tidak melihat apakah hal ini boleh atau tidak dalam pandangan syariah. Padahal jelas jika di telusuri hukum adzan adalah fardu kifayah, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ahmad dari abu Darda, ia berkata saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, tidak akan ada dari 3 orang yang tidak adzan dan tidak Iqamat dalam shalat mereka melainkan Setan akan mengalahkannya.”
Dikisahkan juga bagaimana pada masa Rasulullah Saw. Pada awal mulanya adzan di kumandangkan di Madinah pada awal hijrah, ketika itu pengikut kaum muslim semakin bertambah. Dan Rasulullah Saw kesulitan mengumpulkan mereka ketika waktu shalat tiba, maka beliau pun bermusyawarah dengan para sahabatnya bagaimana caranya mengumpulkan kaum muslim dengan mudah ketika waktu shalat tiba.
Para sahabat pun mengusulkan beberapa cara, sampai kemudian seorang sahabat menceritakan mimpinya terkait seruan adzan dan Iqamah. Lalu Rasulullah Saw berkata: “Sesungguhnya ini adalah mimpi yang benar, Insya Allah, berdirilah bersama Bilal dan tuntunlah Bilal dst.” ( Chalil. M. 2001. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw jilid 1).
Maka sejak saat itulah setiap waktu shalat tiba maka Bilal bin Rabah naik ke tempat agak tinggi agar suaranya mampu terdengar oleh masyarakat pada mengumandangkan adzan. Ini membuktikan pentingnya mengumandangkan adzan dengan lantang dan jelas agar kaum muslim berhenti dari aktivitasnya dan segera menunaikan shalat. Lalu, apa jadinya jika suara adzan di batasi volumenya tentu ini akan mempersulit umat Islam.
Penting nya menyadari bahwa pembatasan adzan adalah bentuk diskriminasi yang jelas-jelas menghalangi syiar Islam. Inilah bukti ketika kepemimpinan di serahkan kepada pemimpin yang tidak ahli dalam bidang tersebut maka sudah pasti akan menimbulkan masalah yang berujung pada kerusakan. Apalagi amanah yang dibebankan dalam hal agama, sudah pasti apa kebijakan yang akan di terapkan justru bertentangan dengan syariat. Bagaimana mana mungkin dia akan menerapkan sesuai syariat sementara ia saja tidak paham syariat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw : “ Apabila sebuah urusan atau pekerjaan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi kiamat.” ( HR. Bukhari)
Oleh karena itu, apa yang di alami kaum muslim saat ini seperti diskriminasi, penindasan dan fitnah, sejatinya tidak akan pernah berakhir kecuali ketika kaum muslim memiliki junnah atau perisai (khilafah) yang mampu melindunginya agar syariat tidak obok-obok atau dilecehkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak ingin Islam kembali berjaya sebagaimana pada masa kejayaannya kurang lebih 13 abad lamanya.
Sejarah telah mencatat tidak ada diskriminasi bagi penganut agama lain meski mereka hidup berdampingan dalam naungan daulah khilafah. Setiap muslim dan non muslim memiliki hak yang sama dalam menjalankan kepercayaan agama masing-masing tanpa ada saling mengganggu.
Wallahu a’alam bish ash-shawab