MAMASA – Pernyataan Wakil Bupati Mamasa pada kunjungannya ke lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Salurano, Desa Salurano, Kecamatan Mamasa, pada Selasa 16 September 2025 lalu, justru meninggalkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat.
Dalam kesempatan itu, Wakil Bupati dengan tegas menyebut bahwa pembangunan TPA tersebut telah menelan anggaran sebesar Rp12 miliar. Ia juga memastikan bahwa Pemerintah Kabupaten Mamasa tetap akan melakukan intervensi agar pembangunan TPA terus berjalan, meskipun menghadapi berbagai kendala di lapangan.
Namun, alih-alih menumbuhkan keyakinan, pernyataan itu justru menimbulkan keraguan serius dari masyarakat setempat. Pasalnya, kondisi nyata fasilitas TPA Salurano saat ini dinilai tidak mencerminkan proyek bernilai miliaran rupiah.
“Kalau benar Rp12 miliar yang sudah dipakai, di mana hasilnya? Kami melihat sendiri, kondisi di lapangan tidak menunjukkan adanya pembangunan dengan nilai sebesar itu,” ungkap Reynal Mesakaraeng, Koordinator Gerakan Masyarakat Salurano, Kamis 25 September 2025.
Keraguan warga bukan tanpa alasan. Sejumlah pihak menilai ada kejanggalan antara klaim anggaran dengan kondisi fisik di lapangan. Transparansi penggunaan dana menjadi sorotan utama, bahkan masyarakat mendesak agar aparat penegak hukum, baik Kejaksaan maupun Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), turun melakukan penelusuran.
“Publik wajar mempertanyakan, apakah penggunaan anggaran sudah sesuai peruntukan. Jika ada indikasi penyimpangan, maka harus diusut,” ujar seorang pemerhati kebijakan publik di Mamasa.
Selain soal anggaran, pembangunan TPA Salurano juga diduga sarat pelanggaran regulasi. Sejumlah aturan hukum yang berlaku dinilai diabaikan oleh pemerintah daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:
Pasal 22 mewajibkan setiap rencana usaha atau kegiatan yang berdampak besar terhadap lingkungan memiliki AMDAL.
Pasal 26 mengatur bahwa penyusunan AMDAL harus melibatkan masyarakat secara transparan.
Pasal 69 melarang setiap orang membuang sampah yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan.
Permen LHK No. 4 Tahun 2021 menegaskan daftar kegiatan yang wajib memiliki AMDAL, UKL-UPL, dan pemantauan lingkungan.
Permen PUPR No. 03/PRT/M/2013 Pasal 35 poin E secara tegas mengatur lokasi TPA harus berjarak minimal 1 kilometer dari pemukiman penduduk. Fakta di lapangan, TPA Salurano justru berada dekat dengan permukiman warga.
Permen LHK No. 22 Tahun 2021 menekankan bahwa persetujuan lingkungan menjadi syarat mutlak dalam perizinan berusaha.
UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah menegaskan pengelolaan sampah harus mengutamakan kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Masyarakat bahkan mengungkapkan bahwa dokumen AMDAL TPA Salurano kabarnya sudah tidak berlaku alias kadaluarsa, namun proyek tetap dipaksakan berjalan. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa pembangunan TPA tersebut menyimpan banyak kejanggalan.
Wakil Bupati dalam pernyataannya menekankan pemerintah daerah akan tetap mengintervensi agar TPA Salurano terus dilanjutkan. Namun masyarakat menilai sikap itu justru terkesan mengabaikan prosedur hukum yang berlaku.
“Intervensi bukan berarti menghalalkan pelanggaran regulasi. Kalau pembangunan TPA ini menyalahi aturan, maka mestinya dievaluasi, bukan dipaksakan,” tegas warga lainnya.
Dengan sederet kejanggalan, publik mendesak agar:
1. BPK dan Inspektorat melakukan audit penggunaan anggaran Rp12 miliar di TPA Salurano.
2. Kejaksaan dan Kepolisian mengusut kemungkinan adanya penyimpangan anggaran.
3. Dinas Lingkungan Hidup dan instansi teknis terkait meninjau ulang aspek AMDAL dan izin lingkungan yang berlaku.
Masyarakat berharap agar pembangunan TPA tidak hanya sekadar menghabiskan anggaran besar, tetapi juga memberikan manfaat nyata tanpa merusak lingkungan maupun kesehatan warga.
“Kalau benar TPA ini mau dilanjutkan, lakukan sesuai aturan. Jangan sampai masyarakat jadi korban, sementara anggaran miliaran rupiah habis tanpa hasil,” pungkas salah satu warga Salurano dengan nada kecewa.