Oleh : Nur Aznizah Amir, S.Ked (Dokter muda)
Pelayanan kesehatan yang berkualitas merupakan hak publik. Namun bagaimana distribusi tenaga kesehatan dan ketersediaan fasilitas kesehatan selama ini masih menjadi permasalahan berkepanjangan. Digodoknya RUU kesehatan diharapkan sebagai solusi untuk mengurai berbagai permasalahan kesehatan tersebut.
Data Kementerian Kesehatan yang dihimpun BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2022, merilis jumlah dokter di Indonesia mencapai 176.110 orang. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menilai bahwa jumlah dokter di Indonesia masih minim jika dibanding total jumlah penduduk. Jika dikalkulasikan dengan 273 juta jiwa penduduk, maka satu dokter mengampuh 1500-an jiwa. Apatah lagi angka tersebut merupakan gabungan dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis dan subspesialis. Fakta maldistribusi juga begitu nyata, densitasnya terpusat di kota-kota besar namun sangat minim di daerah perifer.
Dalam situs resmi KKI, Taruna Ikrar mengatakan bahwa ketimpangan distribusi menyebabkan ribuan pulau tidak memiliki dokter seorang pun. Persoalan ketersediaan fasilitas kesehatan pun sama halnya.
Kisah sedih tergadainya nyawa ibu dan bayi di kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan dikarenakan akses jalan menuju faskes cukup jauh dan sulit untuk dilalui kendaraan umum. (Kompas.com, 9/1/2023). Demikian juga kejadian pilu warga desa Lenggo, Polewali Mandar Sulawesi Barat yang harus berjalan kaki menempuh belasan kilometer dari kampung halaman menuju puskesmas. (Tribun-Sulbar.com, 18/07/2022)
Sulit dinafikan bahwa yang contoh di atas merupakan fakta yang mengkonfirmasi jauhnya pelayanan kesehatan negeri ini dari sematan ‘berkualitas’. Sejak masuk prolegnas prioritas tahun 2023, RUU Kesehatan omnibus law digadang mampu mengurai benang kusut masalah kesehatan. Meskipun tak dipungkiri undang-undang yang sudah ada dengan varian jumlah revisinya tetap terkesan bermasalah, sistem kesehatan seperti jalan ditempat. Apa yang mesti dicermati ulang sebagai agen penyebab dari masalah berkepanjangan ini?
Konsekuensi Politik Kesehatan Kapitalisme
Masuknya sektor kesehatan dalam bidang bahasan World Trade Organization (WTO) meniscayakan industrialisasi sektor kesehatan. Dalam situs resmi WTO, gabungan keduanya adalah bagian dari upaya mengkoherensikan kebijakan antara masalah perdagangan dan kesehatan ditingkat global, regional dan domestik. Diharapkan ada kerjasama yang luas antara keduanya, termasuk isu pelayanan kesehatan dan kekayaan intelektual.
Keterikatan Indonesia terhadap kebijakan internasional tersebut sejalan dengan rumusan kebijakan-kebijakan yang ada, termasuk RUU kesehatan. Sektor kesehatan dijadikan lahan basah meraup pundi profit sekalipun menyangkut hajat hidup publik.
Suramnya pelayanan kesehatan merupakan pil pahit buah penerapan ideologi kapitalisme. Konsekuensi kepemimpinan global ideologi kapitalisme ini karena berkiblatnya sistem kesehatan dunia, termasuk negeri-negeri muslim pada standar Barat.
Ekonomi kapitalistik membalut seluruh aspek komunal (kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial, dll) hingga sangat mustahil mendapatkan pelayanan yang berkualitas dengan biaya yang kecil bahkan gratis. Justru yang menonjol kasta dan cluster antara yang berduit dan yang terhimpit. Negara dengan pengadopsian konsep yang menempatkan untung-rugi sebagai pertimbangan keputusan ini menyandera pendidikan para mahasiswa kesehatan karena biaya sekolah yang melangit. Tak heran jika pendidikan kesehatan seringkali dikenal berputar pada orang mampu saja.
Semakin jelas rusaknya penerapan sistem kapitalisme manakala rancangan kebijakan mengenai penerimaan dokter asing dalam RUU ini justru tak sejalan dengan upaya mengatasi maldistribusi dokter. Padahal angka lulusan dokter dalam negeri mencapai 12.000/tahun. Alih-alih membenahi SDM tenaga kesehatan yang ada, pintu luar negeri justru dibuka. Tenaga medis dan kesehatan WNA dapat melakukan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia dalam rangka investasi atau non-investasi.
Ideologi kapitalisme menjadikan sistem politik demokrasi sebagai pilar pengokoh kedudukan para kapital melalui kebijakan politik termasuk RUU Kesehatan. Penguasa pun menihilkan peran agama dalam politik dan pengambilan keputusan karena merupakan karakter khas dari ideologi ini. Maka wajarlah jika peraturan yang sudah ada dan rancangan yang diusulkan selalu tak berpihak pada rakyat bahkan menjadi jurang kesengsaraan. Lantas jika kepemimpinan global kapitalisme dan turunannya ini gagal, solusi alternatif apa yang mestinya menjadi rujukan?
Islam Solutif Problem Kesehatan
Islam sangat menitikberatkan perhatiannya pada kesehatan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari).
Dengan fisik dan jiwa yang sehat maka melakukan amal sholih dan ibadah dapat dioptimalkan.
Islam sebagai ideologi shohih mengatur bahwa politik kesehatan Islam adalah pengurusan kepentingan publik yang harus dilihat dari sudut pandang Islam. Dilakukan secara praktis oleh negara (Khilafah), berupa upaya promotif-preventif dan kuratif. Pengurusan negara dalam mengayomi pelayanan kesehatan rakyat adalah tanggungjawab yang dibebankan Allah kepada institusi negara sebagai pihak yang mampu mengurusi urusan komunal. Sama sekali tidak diletakkan di atas pundak komunitas, organisasi profesi, apalagi individu.
Dalam sejarah di bidang kesehatan dicontohkan Rasulullah Saw sebagai kepala negara tatkala menerima hadiah mantri pribadi dari Mesir, kemudian justru diinstruksikan untuk melayani masyarakat umum. Keteladanan ini menampakkan bahwa kesehatan merupakan kebutuhan publik yang pemenuhannya dibawah kendali penguasa.
Fasilitas kesehatan berupa rumah sakit, alat kesehatan, obat-obatan serta laboratorium disediakan negara dengan akses yang memadai untuk dijangkau seluruh masyarakat tanpa memandang kaya atau miskin. Sama halnya, ketersediaan tenaga kesehatan yang merata sejalan dengan sistem pendidikan yang mencetak SDM berkepribadian Islam, berkualitas serta kompeten di bidangnya. Pendidikan sebagai kebutuhan pokok masyarakat disediakan gratis oleh negara. Negara turut hadir dalam menunjang riset dan teknologi kesehatan sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan rakyat.
Di sisi lain, independensi politik kesehatan negara Khilafah terlindungi dari komersialiasi dan kapitalisasi. Sistem politik Islam meletakkan posisi penguasa sebagai pelayan masyarakat dan pengatur urusan rakyat dengan syariat sehingga celah penguasaan SDA oleh asing tertutup rapat baik melalui undang-undang maupun berkedok kerjasama. Besarnya pendanaan kebutuhan pelayanan kesehatan sejalan dengan penerapan sistem ekonomi Islam yang menempatkan negara sebagai pengelola kepemilikan umum sehingga outputnya berupa pemenuhan kebutuhan rakyat (termasuk kesehatan dan pendidikan nakes).
Demikianlah watak universal Islam tampak melalui penerapan hukum Islam secara sempurna dalam bingkai negara.
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu” (QS 2 : 208)