Oleh: Hamsina Halik (Pegiat Literasi)
Memasuki tahun ketiga penyebaran covid-19, tak nampak tanda bahwa pandemi ini akan segera usai. Justri sebaliknya, masyarakat kembali dihadapkan pada fakta semakin melonjaknya angka kasus covid-19 di awal tahun 2022 ini. Apalagi diketahui bahwa omikron yang merupakan salah satu varian virus Covid-19 memiliki kecepatan penularan melebihi varian Delta. Untuk itu Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, yang telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) terbaru berkaitan dengan pelaksanaan peribadatan di rumah ibadah.
Sebagaimana dilansir dari republika.co.id (7/2/2022), bahwa Menag meminta rumah ibadah memperketat prokes di tengah kembali melonjaknya kasus Covid-19 akibat adanya varian omikron.
Seruan serupa turut disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemuka agama. Aturan teranyar terkait kegiatan keagamaan diatur dalam Surat Edaran Nomor SE.04 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Kegiatan Peribadatan/Keagamaan di Tempat Ibadah pada Masa PPKM Level 3, Level 2, dan Level 1 Covid-19, Optimalisasi Posko Penanganan Covid-19 di Tingkat Desa dan Kelurahan, serta Penerapan Protokol Kesehatan 5M.
Namun, sungguh disayangkan kebijakan ini seolah-olah hanya untuk menghalangi umat Islam beribadah. Terlebih, bulan suci Ramadan sebentar lagi menyapa. Padahal, ini adalah bulan yang sangat ditunggu-tunggu dan dirindukan oleh umat Islam. Tentu saja kebijakan ini sangat merugikan umat Islam.
Penanganan ala Kapitalis
Tak bisa dipungkiri bahwa kasus covid-19 varian omicron ini melonjak pesat. Melansir data Satgas Covid-19, hingga Jumat (11/2), jumlah kasus aktif Covid-19 di Indonesia mencapai 312.808 kasus, bertambah 24.622 kasus dibanding sehari sebelumnya.
Masih menurut data Satgas Covid-19, ada tambahan 40.489 kasus baru Covid-19 pada Jumat (11/2). Sehingga total menjadi 4.708.043 kasus positif Corona. (kontan.co.id, 12/02/2022)
Untuk mengatasi melonjaknya kasus covid-19, pemerintah telah melakukan berbagai upaya pencegahan. Diantaranya, pengetatan karantina, vaksinasi dan mengimbau agar tak melakukan perjalanan luar negeri kecuali jika sangat mendesak. Dan juga pembatasan ibadah di tempat ibadah sebagaimana yang tertuang dalam surat edaran menag tersebut.
Di samping itu, pemerintah sudah menyiagakan 1.011 rumah sakit dan 82.168 tempat tidur untuk pasien Covid-19. Bahkan, kesiapan logistik berupa APD dan obat-obatan cukup untuk tiga bulan ke depan. Namun, lagi-lagi nampak pemerintah tak tegas dan inkonsisten dengan kebijakan yang telah ditetapkannya. Menunjukkan penguasa lebih cenderung mementingkan keuntungan materi dengan dalih penyelamatan ekonomi, sementara penyelamatan nyawa rakyat tak menjadi prioritas.
Sebut saja, kebijakan pengetatan karantina bagi yang habis melakukan perjalanan luar negeri, tidak berjalan efektif. Bagi yang memiliki yang bisa saja lolos dari karantina kesehatan. Sebagaimana yang terjadi pada seorang selegram, Rachel Vennya. Selain itu, jika pemerintah memang melarang perjalanan luar negeri, harusnya pemerintah menutup total jalan masuk bagi warga asing. Namun, faktanya tidaklah demikian.
Saat kasus Covid-19 mengalami kenaikan selayaknya kebijakan penanganan dan penguncian wilayah segera di tegakkan. Namun, akibat kesalahan kebijakan penanganan justru yang paling dominan dipersoalkan adalah ibadah umat Islam. Alhasil, alih-alih membuat rakyat taat prokes, kesalahan penanganan seperti ini makin banyak mendorong pelanggaran prokes. Karena banyak yang melihat kebijakan soal covid-19 hanya untuk menghalangi muslim dalam beribadah.
Apalagi masyarakat melihat sendiri di saat pemerintah menetapkan pembatasan aktivitas ibadah dan di saat yang sama tempat umum lain seperti pasar, mal, tempat makan dan wisata dibiarkan tetap buka. Tentu saja ini mengundang tanya sejauh mana konsistensi pemerintah terkait kebijakan yang ditetapkannya.
Hal ini menjadi bukti bahwa setiap kebijakan yang diambil dalam sistem kapitalis saat ini, tak mampu menyelesaikan pandemi dengan maksimal. Sistem yang mengandalkan aturan buatan akal manusia terbukti lemah, meniadakan aturan Allah dalam kehidupan dan hanya menguntungkan para kapital. Seharusnya masyarakat menyadari bahwa ini adalah konsekuensi jauh dari pengaturan syariat Islam. Semua kebijakan hanya didasarkan pada asas kemanfaatan dan materi karena lahir dari produk akal manusia yang terbatas dan lemah.
Maka, wajar jika masyarakat tak pernah berhasil keluar dari semua permasalahan yang ada. Sebab, semua solusi yang diambil justru makin menjauhkan umat dari penyelesaian yang hakiki. Bahkan makin menjerumuskan pada masalah yang lebih kompleks lagi.
Cara Islam Mengatasi Wabah
Jika dalam sistem kapitalisme, segala kebijakan didasarkan pada asas manfaat maka lain halnya dengan Islam. Dalam sistem Islam, negara merupakan junnah (perisai) bagi rakyatnya. Dan, pemimpin hadir untuk mengurusi dan melindungi rakyatnya. Ini adalah amanah yang sangat mulia yang akan dipertanggungjawabkan kelak. Olehnya itu, seorang pemimpin akan senantiasa hadir ditengah-tengah rakyatnya.
Dan ketika wabah menyerang, kebijakan yang ditetapkan semata untuk menjaga rakyatnya dan menyelamatkan nyawa mereka. Bukan berdasarkan asas manfaat. Untuk itu negara akan segera melakukan penguncian atau lockdown pada wilayah yang terpapar virus agar tidak menyebar keluar ke daerah lainnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari)
Negara juga akan memisahkan orang sehat dari orang sakit dengan memberlakukan tes massal. Bagi mereka yang terinfeksi, negara akan menjamin pengobatannya dan segala kebutuhannya. Pun, mereka yang berada di dalam wilayah karantina tak perlu khawatir akan kebutuhan pokok mereka. Dengan pendanaan dari baitul mal. Ini sudah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Dan negara akan berupaya semaksimal mungkin untuk melindungi nyawa rakyatnya dengan mengerahkan berbagai upaya untuk meminimalisir dan menyelesaikan wabah. Wallahu a’lam.