MAMASA – Aktivitas pengerukan gunung yang dilakukan oleh oknum masyarakat di Desa Melangkenapadang, Dusun Lepangan, Kecamatan Sesenapadang, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, menimbulkan persoalan serius bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.
Material galian yang terbawa aliran sungai telah menyebabkan sebagian lahan sawah warga tertimbun, sehingga merugikan petani secara ekonomi dan mengancam keberlanjutan sektor pertanian desa.
Kondisi ini terungkap berdasarkan dokumentasi video yang diambil oleh Ardian Ma’dika, aktivis lingkungan sekaligus narasumber, pada 6 September 2025.
Ia menilai bahwa tindakan pengerukan tersebut tidak hanya berdampak langsung pada kerugian petani, tetapi juga berpotensi menimbulkan bencana ekologis jangka panjang.
“Eksploitasi lingkungan tanpa perhitungan yang matang hanya akan meninggalkan kerusakan dan penderitaan masyarakat. Setiap aktivitas yang mengubah bentang alam semestinya disertai analisis dampak lingkungan, bukan sekadar kepentingan jangka pendek,” tegas Ardian.
Kasus ini dinilai memiliki potensi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a disebutkan: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”
Selain itu, Pasal 87 UU PPLH juga mengatur prinsip strict liability, yakni tanggung jawab mutlak bagi pihak yang melakukan perusakan lingkungan untuk memulihkan kembali serta mengganti kerugian yang timbul. Dengan demikian, pihak-pihak yang terbukti terlibat dalam pengerukan gunung tanpa izin dan kajian lingkungan dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.
Tidak hanya itu, jika terbukti ada penggalian material tanpa izin, hal tersebut juga dapat melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 158 UU Minerba menegaskan: “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin usaha pertambangan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.”
Petani di Desa Melangkenapadang menjadi pihak yang paling merasakan kerugian. Tertimbunnya lahan sawah membuat hasil produksi terancam menurun drastis. Padahal, pertanian padi merupakan sektor utama yang menopang perekonomian masyarakat di desa tersebut.
Selain merugikan secara ekonomi, perubahan aliran sungai akibat material galian juga menimbulkan risiko bencana banjir bandang maupun longsor di kemudian hari. Ancaman ini dinilai sangat serius mengingat Mamasa merupakan daerah rawan bencana dengan kondisi topografi perbukitan yang labil.
Melihat dampak yang ditimbulkan, Ardian Ma’dika bersama aktivis lingkungan mendesak pemerintah daerah segera mengambil tindakan tegas.
“Kami meminta Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pertanian, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Mamasa untuk segera turun tangan meninjau lokasi. Penanganan dini sangat penting agar masalah ini tidak meluas menjadi krisis yang lebih besar, khususnya bagi keberlangsungan pertanian yang menjadi urat nadi ekonomi warga,” ujar Ardian.
Warga berharap pemerintah tidak menutup mata atas kasus ini. Selain penertiban terhadap aktivitas pengerukan, mereka juga menginginkan adanya program pemulihan lingkungan dan perlindungan lahan pertanian.
Masyarakat Desa Melangkenapadang menilai bahwa pertanian tidak sekadar mata pencaharian, tetapi juga identitas dan warisan yang harus dijaga demi generasi mendatang. Oleh karena itu, intervensi pemerintah dianggap sebagai langkah mendesak agar praktik-praktik merusak lingkungan tidak lagi terulang.