MAJENE – Proses seleksi terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Majene Tahun 2025 kini menghadapi badai krisis kepercayaan publik.
Alih-alih mencerminkan asas meritokrasi, netralitas, dan integritas, seleksi yang diumumkan Panitia Seleksi (Pansel) melalui Pengumuman Nomor: 13/Pansel-JPTP/IX/2025 tanggal 25 September 2025 justru menuai sorotan dan tudingan serius terkait pelanggaran prosedural serta moralitas seleksi.
Publik Majene dibuat terperangah oleh kabar lolosnya seorang peserta seleksi berinisial N, yang disebut pernah divonis bersalah dalam kasus tindak pidana korupsi beberapa tahun lalu.
Padahal, sesuai dengan Pasal 107 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, ditegaskan bahwa “Pejabat pimpinan tinggi harus memenuhi persyaratan integritas, moralitas, serta rekam jejak jabatan yang baik.”
Dengan demikian, meloloskan peserta yang memiliki catatan kelam dalam kasus korupsi merupakan kelalaian serius Pansel dan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap norma dasar manajemen ASN.
Selain soal rekam jejak peserta, sejumlah dugaan lain mencuat di tengah publik. Sejumlah ASN dan masyarakat menilai bahwa nama-nama yang lolos seleksi tidak mencerminkan sistem merit sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), PP Nomor 11 Tahun 2017 sebagaimana diubah dengan PP Nomor 17 Tahun 2020, serta PermenPAN RB Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pengisian JPT secara Terbuka dan Kompetitif.
Samsuddin, salah seorang warga Majene, mengaku kecewa dengan hasil seleksi ini. “Kami merasa dikhianati. Prinsip meritokrasi seolah tidak berlaku di Majene. Orang-orang dengan integritas diragukan, justru yang punya masalah masa lalu yang diloloskan,” ujarnya dengan nada geram, Sabtu 4 Oktober 2025.
Ia menambahkan, Pasal 3 ayat (2) UU ASN secara tegas menyebutkan bahwa “Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi dilakukan secara terbuka dan kompetitif dengan mempertimbangkan kualifikasi, kompetensi, kinerja, dan kebutuhan organisasi, serta dilakukan secara objektif tanpa membedakan latar belakang politik.”
Namun, menurut Samsuddin, semangat objektivitas itu “tidak terlihat sama sekali” dalam proses seleksi kali ini.
Persoalan menjadi semakin rumit ketika muncul dugaan bahwa proses seleksi JPT Majene tidak memiliki alokasi anggaran resmi dalam APBD Pokok Tahun Anggaran 2025.
Informasi yang beredar menyebutkan, Pansel menerima pinjaman dana sementara dari beberapa peserta seleksi untuk menutupi kebutuhan operasional, dengan imbalan perlakuan istimewa dalam penilaian.
Padahal, PermenPAN RB Nomor 15 Tahun 2019 Pasal 4 ayat (3) secara tegas melarang praktik semacam itu “Seleksi terbuka JPT tidak dipungut biaya.”
Artinya, segala bentuk pemberian dana, baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pelanggaran berat terhadap asas independensi seleksi.
Pansel yang menerima dana dari peserta secara otomatis kehilangan independensi, karena berada dalam posisi berhutang budi, sehingga objektivitas penilaian tidak lagi dapat dijamin.
Dari berbagai indikasi yang muncul, publik menilai seleksi JPT Majene masuk dalam kategori pelanggaran berat dengan sejumlah poin krusial, antara lain Mengabaikan Sistem Merit, dengan mengutamakan kepentingan politik dan kekerabatan dibanding kompetensi.
Penyalahgunaan Wewenang (Abuse of Power), di mana jabatan strategis digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Melanggar Kode Etik ASN, membuka ruang konflik kepentingan dan politisasi birokrasi.
Ketiga bentuk pelanggaran ini sejalan dengan ancaman sanksi sebagaimana diatur dalam PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, yang menegaskan bahwa ASN dapat dijatuhi hukuman disiplin sedang hingga berat jika terbukti menyalahgunakan kewenangan.
Dengan semakin menguatnya dugaan pelanggaran tersebut, masyarakat dan sejumlah pemerhati kebijakan publik mendesak Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kementerian PAN-RB untuk segera turun tangan melakukan investigasi dan audit menyeluruh terhadap seluruh tahapan seleksi.
Investigasi administratif dan rekam jejak peserta, termasuk verifikasi putusan hukum bagi mereka yang pernah terjerat kasus pidana.
Audit mekanisme pembiayaan seleksi, untuk memastikan tidak ada dana non-budgeter yang digunakan.
Penerbitan rekomendasi resmi kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) Kabupaten Majene agar hasil seleksi dibatalkan jika terbukti melanggar sistem merit.
Penjatuhan sanksi administratif terhadap Panitia Seleksi yang terbukti melakukan pelanggaran, sebagaimana diatur dalam Pasal 250 PP Nomor 11 Tahun 2017.
Seleksi JPT sejatinya adalah gerbang utama menuju reformasi birokrasi yang bersih, kompetitif, dan profesional. Namun kasus di Majene menunjukkan bahwa sistem tersebut masih sangat rentan terhadap intervensi politik dan kepentingan pribadi.
Apabila dugaan ini benar adanya, maka bukan hanya marwah birokrasi Majene yang tercoreng, tetapi juga merusak citra reformasi birokrasi nasional yang tengah digalakkan oleh pemerintah pusat.
Kini, masyarakat menanti langkah tegas dari BKN dan KemenPAN-RB, agar prinsip transparansi, akuntabilitas, meritokrasi, dan netralitas ASN benar-benar dijalankan, bukan sekadar slogan yang terpasang di dinding-dinding kantor pemerintahan.